Saturday, April 15, 2006

GORESAN TINTA MALAM MINGGU

Lambaian daun pepohanan di sekitar komplek tempat aku tinggal menjadikan aku teringat akan firman Allah SWT. Bahwasanya alam raya yang ada dimuka bumi, mereka senantiasa bedzikir. Pagi itupun matahari sudah tidak malu – malu lagi untuk memperlihatkan sosoknya yang senantiasa memancarkan sinar kekuatan bagi kehidupan manusia. Bunga yang ada di halaman rumahpun terseyum menebarkan pesonanya seolah ingin turut serta dalam kegembiraan tersebut. Hari itu cuaca memang cerah, awanpun hanya berlari – larian kecil menyaksian kegembiraan alam di muka bumi.

Lambaian serta senyuman mereka telah menghibur siapapun yang sedang bersedih karena penatnya persoalan hidup yang dijalani didunia ini. Begitu juga aku yang sedang bersedih, ketika perihal ini bersemayam dalam batinku sering aku memunculkan pertanyaan – pertanyaan “kenapa semua ini bisa terjadi dan mengapa mesti aku yang harus dijadiin peraganya, bukankah masih banyak orang selain aku..?. Tapi pertanyaan itu terjawab oleh Allah Azza Wajalla yang tersirat dalam firmanNya “Janganlah kalian mengatakan bahwa kalian telah beriman, sementara kalian belum kami diuji”

Memang tidak mudah untuk menjadi sosok seorang hamba yang betul – betul memaknai akan arti yang sesungguhnya kenapa manusia diciptakan, betul memang sudah ada di Qur’an bahwa Allah tidak menciptakan Jin dan Manusia selain untuk beribadah kepadaNya, tapi aku yakin masih banyak manusia yang belum mampu memaknai firman tersebut. Aku sendiri tidak tahu, apakah memang seseorang tersebut tidak ingin menjadi hamba Allah yang sesungguhnya, maksudnya adalah seorang yang menyerahkan hidup dan matinya itu hanya kepada Allah SWT, atau memang seseorang tersebut memang belum mendapat hidayah dari Allah SWT.

Kalau aku sering menyaksikan peristiwa kehidupan yang menyangkut kesadaran seorang hamba kepada Tuhan, aku jadi teringat dengan petuah seorang ustad muda yaitu Anis Matta,Lc yang mengatakan terkadang memang butuh musibah besar untuk menyadarkan manusia. Agaknya kalimat itu cukup relefan kalau kita melihat fakta didrama kehidupan ini.

Peristiwa demi peristiwa, musibah demi musibah sudah Allah turunkan tapi tetap saja ada orang yang belum sadar akan makna dibalik musibah tersebut. Lalu apa arti dibalik semua itu terhadap kita..?. Tentu kita ingat sejarah nabi Nuh As. Yang tidak kuasa membawa anaknya untuk bersama – sama dengan ummat yang beriman, juga peristiwa yang terjadi pada nabi Ibrahim as yang juga tidak mampu membawa ayahnya untuk beralih dari agama patung kepada agama tauhid, yaitu Islam. Bahkan sering kita lihat juga di lingkungan kita ada yang orang tuanya kyai atau ustad akan tetapi anaknya justru berbuat yang dapat menurunkan wibawa orang tuanya.

Itulah kekuasaan Allah SWT yang kalau sudah berkehendak tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi. Seandainya, seluruh jin baik dari bangsa jin itu sendiri maupun dari bangsa manusia berkumpul merencanakan bagaimana menggagalkan kehendak Allah SWT, niscaya tidak akan mampu. Peristiwa ini pernah terjadi ketika zaman rasulullah, yaitu ketika orang kafir bermaksud ingin menantang Allah bahwa mereka juga bisa membuat al qur’an yang sama persis, maka ketika itu Allah katakan “silahkan kalian kumpulkan para ahli atau sastrawan seluruh suku dari penjuru dunia untuk membuat al qur’an, niscaya kalian tidak akan pernah mampu, jangankan satu surat ….. satu ayat saja kalian tidak akan pernah bisa.

Proses perjalanan seorang hamba dalam menjalani kehidupan yang tidak pernah tahu persis kepastiannya seperti apa membutuhkan sebuah penghayatan yang mendalam akan arti kehidupan itu sendiri. Tapi anehnya, aku dan mungkin yang lainnya juga, terkadang lupa dan lalai bahwa hidup adalah ibadah dan ada kehidupan akhirat setelah dunia, sehingga seringnya kita hampar tanpa ruh dalam menjalani peran kehidupan yang sudah Allah tentukan.

Atau mungkin kita menjadi sombong, ketika kita berhasil meraih keinginan. Seolah – olah tidak ada campur tangan Tuhan dalam kehidupannya. Kita lalu mengucapkan alhamdulilla ketika kita mendapat nikmat dari Allah SWT, atau kita ingat tapi kita merasa “gengsi” untuk melafazkannya, atau kita ingat dan melafazkannya akan tetapi ucapannya melayang begitu saja seperti layang – layang putus. Kita juga suka mencicil bersyukur ketika mendapatkan nikmat tapi minta kontan ketika menginginkan sesuatu.

Insya Allahpun jarang kita ungkapkan ketika kita berjanji dengan sesame, mengesankan bahwa kitalah yang menentukan hasil padahal kita tahu persis bahwa kepastian hanya milik Allah dan Allahlah yang berhak menentukan semua itu. Atau sering kita ungkapkan namun sekali lagi hambar tidak memiliki ruh, jadi hanya sekedar menutupi rasa malu kita sebagai seorang muslim atau bahasa lain hanya menggugurkan kewajiban.

Kita ingat cerita rasulullah saw, ketika ada ummat menanyakan sesuatu perihal lalu beliau menjanjikan besok tanpa mengucapkan insya allah, sampai ditunggu keesokan harinya beliau tidak mendapatkan wahyu dari Allah, padahal asumsi beliau ketika itu adalah bahwa biasanya kalau setiap ada persoalan dari ummat Allah selalu menurunkan wahyu keesokan harinya. Sampai kemudian sekali ayat turun justru menegur beliau, Allah katakan “janganlah engkau Muhammad mengatakan sesuatu tanpa Insya Allah”. Allahu Akbar, demikianlah kebesaran Allah atas kuasa langit dan bumi. Minggu, 16 April 2006